Tadabbur Surah Al-Jin


Dunia jin bukan dunia khayalan atau dunia yang tidak punya realitas. Islam meyakinkan umatnya bahwa dunia jin itu benar-benar ada dan memiliki urgensi untuk diketahui dan dipahami secara benar. Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam bahkan memberikan tempat khusus bagi dunia ini di dalam sebuah surat lengkap yang disebut dengan surah Al-Jin. Bagi kaum Muslimin yang ingin memahami dunia jin bisa merujuk kepada Al-Qur'an secara umum dan kepada surah Al-Jin secara khusus agar tidak salah paham tentang dunia yang penuh misteri ini.

Oleh karena itu, sepatutnya kita terlebih dulu membaca dan mentadabburi surah Al-Jin secara singkat sebagai pengantar untuk masuk kepada pembahasan berikutnya tentang dunia yang tidak "terjangkau" nalar manusia ini. Surah Al-Jin adalah surat ke 72. Ayatnya berjumlah 28 ayat. Surah Al-Jin termasuk surat Makkiyyah (diturunkan pada periode Mekkah atau sebelum Rasulullah S.A.W hijrah ke Madinah). Awal surat menegaskan bahwa Rasulullah S.A.W tidak dapat melihat jin jika tidak diberi tahu oleh Allah S.W.T, Akhir surat menjelaskan bahwa ilmu ghaib hanya milik Allah semata. Surat ini mengandung prinsip-prinsip akidah Islam seperti wahdaniyah (keesaan Allah), Ar-Risalah ( kerasulan), Al-Ba'ts (Hari Kebangkitan) dan Al-Iaza' (balasan amal). *1

Inti pembicaraan surat ini seputar jin dan hal-hal yang berkaitan dengan alam mereka. Surah Al-Jin merupakan satu-satunya surat yang dinamakan dari makhluk gaib yang dibebani hukum (taklif) sebagaimana surah Al-Insan (manusia) yang juga diambil dari nama makhluk nyata yang dibebani hukum (taklif). Karena itulah manusia dan jin disebut ats-tsaqalain.

Dalam surah Al-Jin ini, Allah S.W.T menceritakan sebagian dari kehidupan jin dan karakternya. Pembukaan surat ini menegaskan bahwa pengetahuan Nabi Muhammad S.A.W tentang adanya makhluk Allah bernama jin yang ikut mendengarkan Al-Qur'an, semata-mata berdasarkan wahyu. Rasulullah pada awalnya tidak menyadari keberadaan jin-jin yang hadir disekitar tempat beliau membacakan ayat-ayat Al-Qur'an. Lalu Allah memberi-tahukan apa sebenarnya yang terjadi.

Coba renungkan awal ayat yang berbunyi: Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadaku". Allah perintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan kepada para shahabatnya bahwa ada pemberitahuan dari Allah tentang sekelompok makhluk bernama jin yang ikut mendengar Al-Qur`an.*2 Rasulullah bukanlah seorang Nabi yang memiliki "indra keenam" sebagaimana keyakinan sebagian masyarakat Muslim yang percaya adanya kemampuan melihat alam gaib bagi orang-orang yang dekat kepada Allah seperti wali dan orang-orang shalih.

Ayat ini hendaknya menjadi petunjuk bagi mereka bahwa seorang Nabi dan Rasul yang sangat dekat kepada Allah dan sebagai manusia terbaik di sisi-Nya pun, tidak memiliki kemampuan atau kekuatan untuk melihat atau mengetahui kegaiban. Kalau tidak ada pemberitahuan atau perintah dari Allah S.W.T tentang jin-jin yang hadir di majelis tempat beliau menyampaikan Al-Qur'an, niscaya Rasulullah tidak mengetahui adanya makhluk jin sekitar beliau. Semata-mata karena wahyu dari Allah, Rasulullah S.A.W. mendapatkan informasi kehadiran jin di tempat itu. Ini merupakan dalil nyata bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan alam gaib atau kegaiban, sumber informasi yang dapat dijadikan landasan adalah wahyu. Bukan akal atau logika, bukan intuisi atau mimpi, dan bukan pula "indra keenam".

Ayat-ayat di dalam surah Al-Jin ini menyebutkan bahwa bangsa jin sangat terkesima mendengarkan ayat-ayat Al-Qur'an sehingga membuat hati mereka bergetar. Mereka kembali kepada kaumnya menyampaikan apa yang mereka dengar dengan penuh rasa senang yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Sepanjang pesan-pesan yang disampaikan dalam surat ini, jin-jin yang mendengarkan keajaiban Al-Qur'an ini menceritakan diri mereka dan kaumnya serta karakter masing-masing kelompok mereka, baik yang beriman maupun yang kafir.

Melalui pesan-pesan yang terkandung dalam ayat-ayat surah Al-Jin ini, kita merasakan bahwa Allah seakan-akan menegaskan: “inilah penjelasan dan keterangan dari makhluk ciptaan-Ku secara langsung tentang dunia mereka, bukan melalui karangan dan cerita para pendusta yang menggambarkan tentang dunia jin secara keliru berdasarkan mitos atau khurafat yang beredar sepanjang zaman." Sesuai dengan karakter jin yang penuh misteri bagi manusia, tentu masih banyak rahasia Allah yang terkandung dalam ayat ini dan juga tentang alam jin yang sesungguhnya.Allohu 'Alam.

Manusia dan jin adalah dua makhluk berbeda alam yang tidak mungkin bersatu dalam sebuah kerja sama atau saling bantu membantu dalam sebuah urusan. Jika kerja sama itu terjadi, maka jin menjadi makhluk yang sangat diuntungkan disebabkan kemampuan jin melihat dan mengetahui keberadaan manusia dan tidak sebaliknya. Jin-jin kafir dan fasik akan memanfaatkan "kelebihan" mereka mencari titik kelemahan manusia sehingga manusia selalu terjebak dengan bujuk rayunya. Oleh karena itulah di ayat keenam digambarkan bahwa jika manusia meminta perlindungan atau apapun namanya dari pihak jin, maka sesungguhnya manusia akan sangat dirugikan dan jin-jin itu akan menyesatkan mereka.

Memang kemampuan jin dalam satu sisi sebagai makhluk gaib harus diakui lehih tinggi karena pada aspek itu Allah melebihkan mereka dari manusia. Misalnya, mereka mampu naik ke langit dan mendengarkan informasi yang beredar di sana. Artinya, mereka memiliki kecepatan yang sangat luar biasa. Sebab, antara langit dan bumi memiliki jarak yang cukup jauh untuk ukuran manusia. Setelah Nabi Muhammad S.A.W diutus menjadi Rasul, jin-jin itu tidak lagi memiliki kesempatan naik ke langit untuk mencuri berita. Setiap kali mereka naik, saat itu pula mereka akan diserang dengan panah api. Ini juga menjadi dalil bahwa segala sesuatu yang telah menjadi ketetapan (takdir) Allah, jin tidak mengetahui sedikit pun. Jin tidak pernah tahu kapan dan dimana akan turun hujan, apalagi nasib seorang anak manusia. Sebab, ketentuan Allah S.W.T disampaikan di langit kepada malaikat yang bertugas melakukan eksekusi di bumi, sementara akses jin ke sana sudah tertutup.

Adakah jin yang baik?

Seringkali seseorang menjadikan jin baik sebagai dalih untuk pembenaran keterlibatannya dengan dunia jin. Memang, jin ada yang shalih, tetapi tidak sedikit pula yang fasik, bahkan kafir. Jin-jin yang shalih sebagaimana manusia yang shalih, sangat memahami posisinya masing-masing jika dihadapkan dengan makhluk lain di luar alamnya. Allah S.W.T telah mengatur semuanya. Disana ada qanun atau undang-undang yang tidak boleh dilanggar.

Setiap makhluk ciptaan Allah memiliki karakternya masing-masing, baik dari segi penciptaan maupun interaksinya dengan dunia lain. Jin-jin shalih meyakini betul adanya undang-undang yang mengatur keterlibatannya dengan dunia manusia sehingga tidak sesuka hati bersentuhan dengannya, apalagi melibatkan diri di dalamnya. Bahkan, untuk masuk ke dunia manusia dia harus mengubah wujudnya dengan penjelmaan (tasyakkul), dan dia harus menimbang dengan aturan atau undang-undang yang ada.

Perbandingannya adalah manusia yang shalih dan taat kepada Allah. Bagaimana pun juga, jin dan manusia memiliki tanggung jawab yang sama dari aspek aturan Allah sehingga keduanya disebut ast-tsaqalain (dua makhluk yang diberi beban syari'at). Jadi, membandingkan manusia yang shalih dengan jin yang shalih tidak ada salahnya. Yang berbeda dari keduanya adalah bentuk penciptaan saja.

Orang yang shalih dan taat kepada Allah menyadari segala tindakannya harus sesuai dengan norma agama, baik dari segi akidah, ibadah, maupun akhlak. Ketika dia mengimani adanya dunia gaib ('aalamul ghaa'ib) diluar dunia nyata ('aalamusy syahaadah), maka dia menyadari sikapnya terhadap dunia gaib itu seperti apa dan bagaimana. Apakah dia dituntut untuk sekadar mengimani saja atau harus mengetahui lebih banyak tentang hal-hal yang terkait dengan alam itu? Jika dia menyadari bahwa tugasnya hanya mengimani keberadaan alam gaib itu, maka urusannya selesai. Namun, jika dia merasa bahwa dirinya harus masuk ke dunia itu dan mengetahui semua yang terjadi disana, maka ia akan menemukan kelemahan dirinya untuk memasuki dunia itu.

Disini, cukup baginya mengimani bahwa alam gaib itu ada dan dia tidak dituntut untuk mengetahui lebih dalam apa yang terjadi di sana. Namun, manusia-manusia pembangkang akan berusaha melibatkan dirinya dengan dunia gaib melalui cara-cara yang tidak dibenarkan sehingga setan (jin kafir atau jin fasik) akan mempermainkan manusia sesuai dengan apa yang diinginkannya. Padahal, pengetahuan gaib yang diperolehnya dengan cara-cara itu tidak lain hanyalah ilusi yang ditanamkan setan ke dalam pikirannya. Untuk menguatkan itu semua, setan kadang membantunya menciptakan opini bahwa dia benar-benar memiliki ilmu gaib, bahkan diberikan sebuah kemampuan yang tidak dimiliki manusia pada umumnya. Itulah tipu daya setan yang tidak disadarinya.

Demikianlah jin Muslim yang shalih dan ta'at, dia merasa tidak perlu melibatkan diri dengan dunia manusia, apalagi bekerja sama dalam suatu hal dan kepentingan. Sebab, ia tahu bahwa alam jin dan alam manusia berbeda sehingga mereka tidak akan pernah memiliki kepentingan yang sama. Tidak ada satu nash pun yang menjelaskan bahwa manusia dan jin dapat bekerja sama dalam bidang kehidupannya masing-masing, kecuali apa yang terjadi pada Nabi Sulaiman A.S. Dan itu adalah mukjizat yang tidak akan pernah diberikan kepada siapa pun setelahnya, termasuk kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Nabi Muhammad tidak pernah membuat suatu pasukan khusus yang terdiri dari para jin untuk melawan orang-orang kafir. Beliau juga tidak pernah mengajak jin bekerja sama membangun peradaban yang dapat dirasakan oleh manusia dan jin secara bersamaan. Rasulullah tidak pernah meminta bantuan jin untuk melakukan suatu pekerjaan, baik yang berkaitan dengan tugas keduniaan maupun yang bersifat keakhiratan, kecuali untuk menyampaikan dakwah Islam ke dunia bangsa jin, bukan ke dunia manusia.

Belum pernah ada sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa ada seorang jin dijadikan khalifah, gubernur, da'i, utusan kepada orang kafir, dan tugas-tugas lainnya yang berkaitan dengan urusan manusia. Jin hanya mampu mengatur dunia jin dan manusia juga hanya mampu mengatur dunia manusia. Oleh karena itu, jin menyadari kelemahannya di hadapan manusia sehingga dia tidak akan dapat berinteraksi dengan manusia dan hidup bersama manusia dengan penjelmaannya. Karena keduanya memang berbeda dan tidak bisa hidup bersama.

Sebagaimana manusia, jin juga akan menerima pembalasan dari semua perbuatan dan amal ibadahnya kepada Allah. Oleh karena itu, segala sesuatu yang melanggar undang-undang akan mendapatkan balasannya, termasuk undang-undang yang mengatur kehidupan di alam jin dan hubungannya dengan dunia luar, yakni dunia manusia. Jin-jin shalih menyadari hal ini, sementara jin pembangkang atau setan tidak menghiraukan undang-undang atau ketetapan Allah sehingga mereka berupaya masuk ke dalam dunia manusia dan mencampuri semua urusan manusia. Hal tersebut memang tugas mereka yang diwariskan oleh nenek moyangnya Iblis yang telah bertekad di hadapan Allah untuk menyesatkan manusia. Jin-jin Muslim yang taat itu meyakini adanya surga dan neraka bagi mereka. Para jin Muslim yang taat akan masuk surga, sedangkan jin-jin pembangkang akan masuk neraka.

Surah Al-Jin diakhiri dengan sebuah ayat yang sangat tepat dan akurat dari pengakuan jin Muslim melalui firman Allah S.W.T Dunia jin adalah dunia gaib bagi manusia dan disana masih banyak kegaiban-kegaiban selain dunia jin. Di akhir ayat surah Al-Jin ini, jin mengakui bahwa yang memiliki pengetahuan tentang dunia gaib hanyalah Allah S.W.T dan kegaiban itu tidak akan diperlihatkan kepada siapa pun, kecuali kepada rasul yang diridhai Allah S.W.T. Lafaz "rasul" di ayat ini sifatnya umum, bisa rasul dalam artian malaikat (ar-rasuulul malaki) yang diutus Allah kepada manusia untuk melaksanakan tugasnya dan bisa juga rasul dari golongan manusia (ar-rasuulul basyari), yaitu para rasul Allah S.W.T.

Jadi, malaikat diberi Allah sebagian pengetahuan tentang kegaiban berkaitan dengan tugas mereka. Adapun manusia yang diberi pengetahuan tentang kegaiban adalah para rasul. Mereka diberi wahyu oleh Allah S.W.T tentang berbagai urusan, baik yang berkaitan dengan urusan dunia maupun akhirat. Adapun pengetahuan gaib (‘ilmul ghaa’ib) yang bersifat permanen bagi diri seorang rasul, sejauh ini belum ada nash yang menjelaskan. Bahkan, Nabi Muhammad S.A.W sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an mengakui bahwa dirinya tidak memiliki ilmu kegaiban. Jika beliau mengetahui sebagian peristiwa yang akan datang, maka itu karena adanya berita dari Allah S.W.T

Berkaitan dengan dunia jin yang gaib, Allah hanya memberikan ilmu itu kepada Nabi Sulaiman A.S saja. Inilah kelebihan Nabi Sulaiman A.S yang sekaligus menjadi mukjizatnya. Rasulullah S.A.W juga tidak memiliki kemampuan atau ilmu yang permanen untuk mengetahui dunia jin. Jika ada peristiwa beliau bersinggungan dengan dunia jin, maka itu hanyalah bersifat kasuistik; Artinya, Rasulullah tidak menguasai dunia jin sebagaimana Nabi Sulaiman A.S yang diberikan Allah S.W.T mukjizat untuk mengatur dunia manusia, dunia jin, dunia binatang, dan sebagainya. Dan hal ini diakui oleh Rasulullah S.A.W sebagai mukjizat Nabi Sulaiman A.S yang tidak akan dimilikinya.

Jika hari ini banyak orang yang mengakui bahwa dirinya bisa memerintahkan jin, menguasai jin, bisa menangkap jin, memiliki khadam dari bangsa jin, dan dapat bekerja sama dengan bangsa jin, maka pertanyaannya: Apakah dia seorang rasul yang memiliki kemampuan yang sama dengan Nabi Sulaiman A.S dan lebih mulia dari Rasulullah S.A.W yang nyata-nyata mengakui bahwa dirinya tidak akan bisa menyamai Nabi Sulaiman A.S? Padahal, Nabi Muhammad S.A.W adalah manusia yang paling mulia dan paling dekat dengan Allah S.W.T. Apakah manusia-manusia lemah itu menyadari posisinya dibanding Baginda Rasulullah Muhammad S.A.W? Ataukah kesombongannya yang membuat dirinya merasa mampu untuk menyamai Nabi Sulaiman A.S?. Sungguh, iblis dan setanlah yang telah menguasai dirinya sehingga seakan-akan dirinya mengetahui segala urusan yang berkaitan dengan kegaiban. Sayangnya, ada dari sebagian mereka yang merasa lebih hebat dari Nabi Muhammad S.A.W itu, mengaku berasal dari kaum pelajar, yang terkadang suka mengultuskan para gurunya hingga dianggap memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya.Subhanallah! Wallaahu A’lam.

Secara garis besar, ada beberapa pesan yang terkandung dalam surah Al-Jin, antara lain:

  1. Kita harus mengimani adanya makhluk bernama jin dan alamnya;
  2. Kita harus meyakini bahwa Yang Mahakuasa dan Maha Berkehendak adalah Allah S.W.T, sedangkan jin hanyalah makhluk ciptaan-Nya yang memiliki banyak kelemahan sebagaimana manusia;
  3. Kita harus meyakini bahwa ayat-ayat Al-Qur'an dapat memberi pengaruh kepada jin sebagaimana juga dapat berpengaruh kepada manusia;
  4. Beberapa sifat-sifat jin yang harus kita waspadai diantaranya:
    1. Mereka ada yang sesat dan menyesatkan, tapi ada juga yang beriman;
    2. Mereka tidak dapat memberi manfaat ketika manusia meminta perlindungan kepada mereka;
    3. Mereka tidak punya kekuatan ketika dihadapkan dengan kekuatan Allah S.W.T.

*1 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafaasir Juz III, (Kairo: Dar Ash-Shabuni, cet. IX tt) hal. 457

*2 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafaasir Juz III, (Kairo: Dar Ash-Shabuni, cet. IX tt) hal. 458

-- Ref Buku: Ensiklopedia Jin, Sihir, & Perdukunan – Musdar Bustamam Tambusai

 

0 Komentar